![]() |
Praktisi Hukum Herry F.F. Battileo, S.H.,M.H. |
FAKTA HUKUM, Minggu (10 Agustus 2025). KOTA KUPANG - Sengketa tanah yang berasal dari hibah secara lisan kian marak terjadi di berbagai daerah, terutama di wilayah-wilayah yang masih menjunjung tinggi hukum adat dan tradisi lisan, seperti di Provinsi NTT.
Herry F.F. Battileo, SH., MH., advokat kondang sekaligus Ketua DPC PERADI Kabupaten Kupang, menyoroti kompleksitas hukum dalam pembuktian hak atas tanah yang dihibahkan tanpa akta tertulis.
Masalah Yuridis Hibah Lisan
Secara normatif, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mewajibkan bahwa peralihan hak atas tanah, termasuk hibah, dilakukan melalui akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Namun, dalam praktiknya, banyak masyarakat yang hanya melakukan hibah secara lisan tanpa disertai dokumen hukum.
"Ini yang menyebabkan persoalan besar ketika ahli waris pemberi hibah menuntut kembali tanah yang telah diberikan, biasanya setelah pewaris meninggal," ujar Herry.
Fenomena ini banyak terjadi pada hibah untuk keperluan sosial seperti pendirian sekolah, rumah ibadah, atau lembaga sosial.
Pembuktian Hak Berdasarkan Okupasi dan Kesaksian
Mengacu pada Pasal 24 ayat (2) PP No. 24/1997, dalam kondisi tidak tersedia dokumen formal, hak atas tanah dapat dibuktikan dengan penguasaan fisik selama minimal 20 tahun secara terus menerus oleh pemohon dan pendahulunya, dengan syarat dilakukan secara terbuka, itikad baik, dan tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa.
Meski demikian, menurut Herry, pembuktian seperti ini juga rentan diganggu oleh klaim sepihak dari pihak lain, terutama ahli waris yang baru kembali ke daerah asal.
“Keberatan seperti ini seharusnya dibatasi. Berdasarkan Permen ATR/BPN No. 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita, setiap keberatan seharusnya diikuti oleh gugatan dalam jangka waktu maksimal 30 hari,” tegasnya.
Hibah sebagai Peristiwa Hukum: Bukan Sekadar Penguasaan
Herry menekankan bahwa okupasi tanah secara terus menerus tidak cukup jika tidak ada peristiwa hukum di baliknya, seperti hibah, pewarisan, atau jual beli.
Oleh karena itu, dibutuhkan saksi dan bukti sekunder seperti bukti pembayaran PBB untuk menunjukkan bahwa seseorang secara aktif mengelola dan memanfaatkan tanah tersebut.
Selain itu, beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah menyatakan bahwa seseorang yang tidak menguasai tanah dalam waktu yang lama dapat dianggap melepaskan haknya. Sebaliknya, penguasaan terus-menerus oleh pihak lain dengan itikad baik dan tanpa keberatan dapat menjadi dasar pengakuan hak.
Kepastian Hukum dan Prinsip Keadilan
Dalam konteks ini, Herry mendesak agar para penegak hukum, khususnya hakim, tidak hanya terpaku pada bukti formal.
“Hakim harus menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Jangan terjebak dalam pendekatan formil-legalistik,” pungkasnya.
Ia menambahkan bahwa sengketa tanah seperti ini membutuhkan pendekatan yang menyeluruh—menggabungkan ketentuan positif, asas keadilan, dan kebiasaan masyarakat lokal, demi mewujudkan kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak keperdataan warga negara.
(Red)